Kehidupan dunia ini diiringi kesulitan demi kesulitan (Al Balad: 4).
Sehingga, kesulitan adalah sesuatu yang tak bisa dielakkan. Itu realita
perjalanan dunia ini. Kesulitan menjadi risiko hidup. Tak seorang pun
yang lepas dari kenyataan itu. Namun
yang acapkali terjadi adalah takut terhadap risiko yang bakal muncul
lantaran kekerdilan jiwa untuk menghadapinya. Lalu timbullah
ketakutan-ketakutan. Rasa ketakutan ini cuma menggiring seseorang
menjadi pengecut. Dan akhirnya lari dari kenyataan.
Sifat
pengecut dipandang sebagai sifat tercela yang tidak boleh dimiliki
orang-orang yang beriman. Karena pengecut artinya ia tidak mau
menanggung dan menghadapi risiko yang memang sudah menjadi
konsekuensinya. Perilaku ini merupakan perilaku orang-orang yang
setengah hati dalam keimanan, hanya ingin serba enak tanpa harus
bersusah payah menghadapi masalah rumit. Sifat pengecut akan menjadi
penghalang untuk maju dan pemberat langkah kesuksesan.
Saat ini
dunia dipenuhi dengan orang-orang yang memiliki sifat pengecut. Sebuah
hadits Nabi saw. memprediksikan di suatu masa umat Islam akan menjadi
bulan-bulanan dan santapan empuk musuh-musuh Islam karena sudah mengidap
penyakit wahn, yakni cinta dunia dan takut mati. Memang, penyakit
wahn-lah yang menyebabkan umat Islam banyak yang menjadi pengecut
sehingga tidak lagi disegani oleh musuh-musuhnya yakni kaum kafir,
musyrikin dan munafikin.
Islam memandang hina orang yang
pengecut. Baik pengecut untuk mempertahankan hidup sehingga gampang
putus asa. Pengecut lantaran takut dikucilkan dari komunitasnya.
Pengecut karena berlainan dengan sikap banyak orang. Atau pengecut untuk
membela sebuah nilai. Kemudian menjerumuskan pelakunya pada sikap yang
plin-plan tanpa prinsip. Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kamu
menjadi orang yang tidak punyai sikap. Bila orang melakukan kebaikan
maka aku pun melakukannya. Namun bila orang melakukan keburukan maka aku
pun ikut melakukannya juga. Akan tetapi jadilah orang yang punya sikap
dan keberanian. Jika orang melakukan kebaikan maka aku melakukannya.
Namun jika orang melakukan keburukan maka aku tinggalkan sikap buruk
mereka.” (Tirmidzi)
Allah swt. selalu menggelorakan orang-orang
yang beriman agar jangan takut, jangan pengecut. Karena rasa takut akan
membawa kegagalan dan kekalahan. Akan tetapi keberanian menjadi seruan
yang terus berulang-ulang dikumandangkan. Karena keberanian adalah
tuntutan keimanan. Iman pada Allah swt. mengajarkan menjadi orang-orang
yang berani menghadapi beragam risiko dalam hidup ini terlebih lagi,
risiko dalam memperjuangkan dakwah ini.
Syaja’ah atau
keberanian merupakan jalan untuk mewujudkan sebuah kemenangan dan
sebagai izzah keimanan. Tak pernah boleh ada, kata gentar bagi kader
dakwah saat mengemban tugas bila ingin meraih kegemilangan. Dari sisi
inilah kaum yang beriman berada jauh di atas kebanyakan orang. Karena
izzah keimanan menuntun mereka untuk tidak takut dan gentar sedikitpun.
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih
hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika
kamu orang-orang yang beriman”. (Ali Imran: 139)
Dahulu yang
membuat gentar musuh-musuh Islam adalah keberanian pejuang-pejuang Islam
yang menghambur ke medan perang dengan suka cita karena pilihannya
sama-sama baik yakni hidup mulia dengan meraih kemenangan atau mati
syahid di jalan Allah. Bahkan mereka jauh mencintai kemuliaan sebagai
syahid sebagaimana kecintaan kaum kafir terhadap dunia. Dengan sikap ini
kaum muslimin banyak memperoleh anugerah kemenangan dakwah di berbagai
tempat.
Orang-orang kafir amat takut terhadap orang-orang yang
beriman yang memiliki prinsip ini. Sehingga mereka berupaya agar sifat
berani tidak bersemayam dalam diri orang-orang mukmin. Lalu mereka
takut-takuti kaum muslimin dengan situasi dan kondisi masa depan yang
suram, ancaman, teror, intimidasi atau tekanan-tekanan lainnya agar umat
ini tidak lagi berani memperjuangkan nilai dan norma yang diyakininya.
Akhirnya timbullah sikap takut yang luar biasa hingga melemahkan
semangat juangnya.
Oleh karena itu jangan tertipu oleh upaya
orang-orang kafir untuk menghilangkan sifat syaja’ah. Sebab syaja’ah
merupakan harga diri orang-orang beriman. Lantaran sifat itu sebulan
sebelum kedatangan kaum muslimin orang-orang di Babylonia telah lari
tunggang langgang mendengar umat Islam akan tiba di negeri mereka.
Sampai-sampai Khalid bin Walid r.a. menenangkan masyarakat Romawi agar
tidak perlu teramat takut pada kaum muslimin karena kedatangan umat
Islam hanya untuk menyerukan Islam dan mengajak mereka menghamba pada
Allah swt. semata.
Asy syaja’ah (keberanian) menjadi salah satu
ciri yang dimiliki orang yang istiqamah di jalan Allah, selain
ciri-ciri berupa al-ithmi’nan (ketenangan) dan at-tafaul (optimisme).
Dengan demikian orang yang istiqamahlah akan senantiasa berani, tenang
dan optimis karena yakin berada di jalan yang benar dan yakin pula akan
dekatnya pertolongan Allah. Namun memang tak mudah untuk menjadi orang
yang istiqamah atau teguh pendirian memegang nilai-nilai kebenaran dan
senantiasa berada di jalan Allah. Bahkan Rasulullah saw. mengatakan
bahwa turunnya surat Hud membuat beliau beruban karena di dalamnya ada
ayat (Huud: 112) yang memerintahkan untuk beristiqamah, “Maka tetaplah
kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan
(juga) orang yang telah tobat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui
batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.“
Rasulullah saw. memahami benar makna istiqamah yang sesungguhnya sampai
ketika Abu Sufyan bertanya hal terpenting apa dalam Islam yang
membuatnya tak perlu bertanya lagi, beliau menjawab, “Berimanlah kepada
Allah dan kemudian beristiqamahlah (terhadap yang kau imani tersebut).”
(Bukhari). Di kesempatan lain, Rasulullah saw. juga mengatakan tantangan
buat orang yang istiqamah memegang Islam di akhir zaman, begitu berat
laksana menggenggam bara api.
Keberanian untuk tetap istiqamah
walau nyawa taruhannya nampak pada diri orang-orang beriman di dalam
surat Al-Buruuj: 4-8 yang dimasukkan ke dalam parit dan dibakar oleh
as-habul ukhdud hanya karena mereka menyatakan keimanannya kepada Allah
swt. Begitu pula Asiah, istri Firaun dan Masyitah, pelayan Firaun,
kedua-duanya harus menebus keimanan mereka kepada Allah dengan nyawa
mereka. Asiah di tiang penyiksaannya dan Masyitah di kuali panas
mendidih beserta seluruh keluarganya karena mereka berdua tak sudi
mentuhankan Firaun. Demikian sulitnya untuk mempertahankan keistiqamahan
di jalan Allah, dan demikian sulit pula untuk mewujudkan asy syaja’ah
sebagai salah satu aspeknya.
Muthallibatu Ad Da’wah (Tuntutan Dakwah)
Dalam mengusung amanah dakwah, slogan ‘Jangan pernah takut, Maju
pantang mundur, Berani karena benar, rela mati demi kebenaran’ tidak
boleh luntur melainkan harus tetap terpatri dalam sanubari kader dakwah.
Melekatnya doktrin itu, membuat kader dakwah tidak akan lari ke
belakang demi kemenangan dakwah ini. Karena asy syaja’ah (keberanian)
mengemban amanah umat merupakan tuntutan dakwah.
Manakala Allah
swt. berbicara tentang penyelamatan dakwah, maka aspek asy syaja’ah ini
yang selalu disebut-sebut oleh-Nya. Sebagaimana dalam At-Taubah: 40,
‘Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah
menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah)
mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang
ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya:
“Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.” Maka
Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan
tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Allah menjadikan seruan
orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang
tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.’
Di samping itu
sikap syaja’ah para kader menjadi sebab dakwah berkesimbungan di muka
bumi ini. Dengannya dakwah ini berjalan terus sekalipun harus melewati
bukit terjal ataupun tembok besar. Berisiko berat ataupun ringan. Dengan
keberanian para pejuang dakwah, ajaran Islam ini merambah ke berbagai
pelosok dunia bahkan sampai pada diri kita saat ini. Padahal bila
dilihat tantangan dan rintangan yang dihadapi sangat berat. Tantangan
alam, geografis, budaya, maupun rintangan dari musuh-musuh dakwah. Tanpa
keberanian mereka, perjalanan dakwah ini akan tertatih-tatih lantaran
ketakutan yang melemahkan gerak dakwah ini.
Da’aimu Asy Syaja’ah (Pilar Keberanian)
Karena sikap asy-syaja’ah merupakan tuntutan dakwah maka para kader
mesti selalu memompa dan menopang keberaniannya agar kata takut dan
pengecut tidak lagi melekat dalam dirinya. Takut dan pengecut tidak
boleh ada dalam memperjuangkan dakwah. Adapun pilar-pilar yang
menghantarkan diri seorang kader memiliki sifat asy-syaja’ah adalah
hal-hal berikut ini:
1. Al Iman bil Ghaib (Iman Dengan Yang Ghaib)
Penopang yang amat kokoh untuk menguatkan sikap asy-syaja’ah dalam diri
kader dakwah adalah memperkuat keyakinannya akan hal-hal yang ghaib.
Seperti yakin akan pertolongan Allah swt. Yakin akan
malaikat-malaikat-Nya yang senantiasa membantu orang yang memperjuangkan
agama Allah swt. Begitu pula yakin akan kehidupan akhirat yang
ditentukan oleh amaliyah kita di dunia ini, khususnya amal-amal dakwah.
Keyakinan pada hal yang ghaib memunculkan sikap berani, tak takut
terhadap apa yang terjadi. Karena semua yang bakal terjadi telah menjadi
ketentuan dalam kehidupan seseorang. Ia merupakan takdir yang telah
ditetapkan. Sebagaimana pengalaman nyata yang menarik dari seorang kader
dakwah yang diancam atas perjuangannya selama ini. Tatkala di atas
kepalanya ditodongkan pistol. Lalu sang algojo mengatakan, ‘Mana
Tuhanmu, Apakah ia bisa menyelamatkan kamu kalau pelatuk pistol ini
kugerakkan. Dan hancurlah batok kepalamu berkeping-keping. Jawab sang
aktivis, Bila Tuhanku tidak mengizinkan pistol itu meledak maka aku
tidak akan mati. Atau kalaupun pistol itu meledak namun Tuhanku tidak
menetapkan aku mati maka aku pun tidak akan mati’. Jawaban ini sebagai
jawaban atas keyakinan pada Yang Ghaib, yakni Allah swt.
Keyakinan semacam ini adalah buah dari tarbiyah yag telah menanamkan
rasa takut hanya pada Allah swt. dan senantiasa bergantung pada-Nya.
Sehingga kader memiliki cantolan yang teramat kuat. Lantaran pegangan
dirinya kepada yang Maha Kuat ia tidak pernah mundur menghadapi cobaan
dan rintangan dakwah. Demikianlah hasil dari proses tarbiyah yang
panjang, membina aktivis untuk senantiasa yakin dengan sebenar-benarnya
pada kekuatan yang Ghaib.
Rasulullah saw. telah mengingatkan
Abu Bakar r.a. akan keyakinan pada Rabbul Izzati. Di saat orang-orang
kafir sudah berada di Gua Tsur ingin membunuhnya. Abu Bakar hingga
mencemaskan, “Ya Rasulullah, sekiranya salah satu dari mereka melihat
betisnya maka mereka pasti akan melihat kita.” Nabi saw. menenangkannya
dengan menyatakan, “Duhai Abu Bakar, apakah kamu mengira kita di sini
cuma berdua. Tidak, Abu Bakar. Kita di sini bertiga. Janganlah takut dan
gentar, Allah bersama kita.”
Karenanya jiwa para kader tidak
boleh luput untuk selalu berinteraksi pada Allah swt. agar dikuatkan
diri dan jiwa dalam memperjuangkan dakwah. Karena kemenangan para
pejuang dakwah bukan ditentukan oleh kekuatan material melainkan
kekuatan dari Yang Maha Perkasa.
2. Al Mujahadah Ala Al Khauf (Menaklukkan Rasa Takut)
Rasa takut sebagai lawan dari asy syaja’ah memang amat manusiawi.
Kenyataan ini merupakan watak alamiyah yang dimiliki setiap insan.
Seperti takut terbakar, tenggelam, terjatuh di mangsa binatang buas dan
lain sebagainya. Namun rasa takut semacam itu harus berada di bawah
khauf syar’i yakni takut kepada Allah swt. Sehingga setiap kader dakwah
sepatutnya menaklukkan rasa takut thabi’inya dengan mengkedepankan rasa
takut kepada Rabbbul Izzati. Dengan begitu mereka akan ringan dalam
memperjuangkan dakwah, tidak maju mundur lantaran ketakutan-ketakutan
yang ada pada dirinya.
Hal tersebut secara indah dan heroik
terlihat gamblang pada kisah Nabi Musa a.s., Ibrahim a.s., dan Muhammad
saw. Rasa takut pada kemungkinan tenggelam ke laut merah teratasi oleh
ketenangan, optimisme, dan keberanian Nabi Musa a.s. yang senantiasa
yakin Allah bersamanya dan akan menunjukinya jalan. Dan benar saja Allah
memberinya jalan keluar berupa mukjizat berupa terbelahnya laut merah
dengan pukulan tongkatnya sehingga bisa dilalui oleh Nabi Musa dan
pengikutnya. Kemudian laut itu menyatu kembali dan menenggelamkan Firaun
beserta tentaranya.
Kisah yang tak kalah mencengangkannya
terlihat pada peristiwa pembakaran Nabi Ibrahim a.s. Rasa takut thabi’i
terhadap api dan terbakar olehnya teratasi oleh rasa takut syar’i yakni
takut kepada Allah saja. Dan subhanallah, pertolongan Allah datang
dengan perintah-Nya kepada api agar menjadi dingin dan sejuk serta
menyelamatkan Nabi Ibrahim a.s.
Selayaknya setiap kader dakwah
selalu menundukkan rasa takut insaniyahnya dengan mendominasikan rasa
takut syar’inya. Sehingga yang selalu tertanam dalam dirinya hanya takut
pada Allah semata. Dan tidak pernah gentar akan kekuatan-kekuatan
selain Allah swt.
3. Taurits Al Khairiyah (Mewariskan Hal Yang Terbaik)
Penopang lainnya adalah dengan mempertimbangkan keadaan generasi
berikutnya harus lebih baik dari sebelumnya. Maka warisan yang
ditinggalkan untuk mereka adalah warisan-warisan kemuliaan. Sehingga
mereka mengikuti jejak para pendahulunya yang mempunyai akhlaq mulia.
Bila menginginkan generasi sesudahnya menjadi pemberani, maka wariskan
sifat berani pada mereka. Namun bila mewariskan sifat takut dan pengecut
maka jangan harap generasi berikutnya menjadi orang-orang yang heroik
dan patriotik.
Abul ‘Ala Al Maududi menegaskan bahwa untuk
mewariskan keturunan dan generasi yang lebih baik maka jangan lakukan
sifat-sifat rendahan. Karena itu akan menjadi contoh bagi mereka.
Ingatlah kebaikan akan mewariskan kebaikan dan keburukan akan mewarisi
keburukan pula. Oleh karena itu Allah swt. telah mengingatkan agar
memperhatikan nasib generasi berikutnya dengan mewariskan nilai-nilai
kebaikan untuk menjadi dhawabith khairiyah bagi mereka.
“Dan
hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di
belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada
Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (An Nisa’:
9)
Adalah hal yang patut dipikirkan para kader dakwah untuk
selalu menanamkan tekad dan kemauan agar melahirkan generasi yang
terbaik dengan selalu berpegang pada sikap-sikap keteladanan yang di
antaranya sikap asy syaja’ah.
4. As Shabru Ala Ath Tha’ah (Bersabar Terhadap Ketaatan)
Keberanian akan terus ada pada diri kader bila mereka bersabar. Sabar
terhadap peristiwa yang mereka alami. Karena kesabaran itu merupakan
senjata yang ampuh yang memberikan ketahanan menghadapi tekanan berat
sekalipun. Dengan kesabaran kita pun dapat membandingkan kejadian yang
dirasakan generasi yang lalu dengan yang sedang kita rasakan. Mereka
tentu telah mengalami cobaan yang lebih berat ketimbang yang kita alami
saat ini. Dengan kesabaran ini kita dapat bertahan dan terus maju
melangkah di atas jalan dakwah dengan gagah berani.
Sebagaimana
yang dicontohkan oleh Rasulullah saat menasihati Khabbab bin Al Arts
yang berkeluh kesah atas beratnya penderitaan yang dialaminya, beliau
mengingatkan Khabbab akan perjuangan para Nabi dan orang-orang shaleh
terdahulu yang jauh lebih berat tapi mereka tetap berani dan tabah. Jadi
kita bisa memupuk keberanian dan kesabaran dengan berkata, “Ah… cobaan
ini belum seberapa dibanding yang pernah dialami orang-orang shaleh
terdahulu.“
Oleh sebab itu bekal kesabaran tidak boleh dalam
keadaan defisit. Kesabaran mesti dalam kondisi yang selalu cukup dan
bertambah. Karena kesabaran yang kuat menjadi tameng dalam menyelamatkan
diri atas cobaan-cobaan berat dakwah ini. Allah swt. pun mengingatkan
agar senantiasa bersabar dan menguatkan kesabaran.
“Hai
orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu
dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah
kepada Allah supaya kamu beruntung”. (Ali Imran: 200)
5. Al Ajru min Allah (Berharap Balasan Dari Allah)
Seorang kader juga bisa mengusung dakwah ini dengan berani karena
berharap balasan yang besar dari Allah swt. Balasan yang dijanjikan ini
meminimalkan perasaan takut akan ancaman dalam memperjuangkan dakwah.
Rasa takut akan segera sirna bila balasan yang dijanjikan jauh lebih
besar dari apa yang diderita saat itu. Bahkan balasan yang pasti
diberikan itu dapat memompa semangat juang kader untuk terus berada di
jalan dakwah dan memperjuangkannya sampai titik darah penghabisan. Maka
balasan Allah swt. itu seyogianya tervisualisasi dengan baik pada diri
kader dakwah. Seakan-akan semua balasan itu ada di pelupuk mata.
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah”
kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun
kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan
janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh)
surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”. Kamilah
Pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan di akhirat; di dalamnya
kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya
apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan Yang Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Fushshilat: 30-32)
Bila
balasan yang dijanjikan Allah swt. senantiasa terngiang-ngiang dalam
benak kader, maka tidak ada alasan untuk takut dan pengecut. Rasulullah
saw. mengingatkan Abdullah bin Harits yang mengungkapkan keinginannya
untuk masuk Islam. Namun ia perlu mengajukan dua syarat yang memang
terjadi pada dirinya. Pertama, tidak dibebankan infak karena dia orang
yang termiskin di keluarga dan kabilahnya dan tidak pula diwajibkan
berperang karena dia seorang yang penakut. Nabi menjawab, “Wahai
Abdullah, bila itu kamu syaratkan lalu dengan apa kamu akan masuk
syurga?” Maka Abdullah menandaskan, “Kalau begitu, ya Rasulullah, aku
akan berinfak dan akan berjuangan di jalan Allah swt.” Begitulah
akhirnya Abdullah bin Harits berada di barisan terdepan di jalan dakwah
tanpa rasa takut dan lemah.
Syaja’ah atau pemberani tentu saja
berbeda dengan bersikap nekat, “ngawur” atau tanpa perhitungan dan
pertimbangan. Asy syaja’ah adalah keberanian yang didasari pertimbangan
matang dan penuh perhitungan karena ingin meraih ridha Allah. Dan untuk
meraih ridha Allah, tentu saja diperlukan ketekunan kecermatan dan
kerapian kerja (itqan). Bukan keberanian yang tanpa perhitungan yang
melahirkan kenekatan, namun juga bukan terlalu perhitungan dan
pertimbangan yang melahirkan ketakutan.
Perwujudan sikap asy
syaja’ah dalam kehidupan ini amatlah banyak terlebih dalam
memperjuangkan dakwah. Implementasinya bisa bermacam-macam. Di
antaranya:
a. Quwwatul Ihtimal (Memiliki Daya Tahan Yang Besar)
Seseorang dapat dikatakan memiliki sifat berani jika ia memiliki daya
tahan yang besar untuk menghadapi kesulitan, penderitaan dan mungkin
saja bahaya dan penyiksaan karena ia berada di jalan Allah.
Begitu banyak orang yang tidak memiliki daya tahan tinggi terhadap
segala tantangan dan kesulitan sehingga mudah surut, menyerah atau
berputus-asa. Padahal dalam kehidupan yang semakin berat dan sulit
dewasa ini begitu banyak tantangan dan marabahaya yang harus disikapi
dan dihadapi dengan berani, karena bersikap pengecut dan melarikan diri
dari persoalan hidup yang berat tidak akan pernah menyelesaikan masalah.
Apalagi dalam perjuangan dakwah untuk mencapai kemenangannya.
Daya tahan yang besar terhadap tekanan memberikan kemampuan menanggung
beban-beban berat sendirian tanpa menyertakan yang lainnya. Malah ia
ingin saudara-saudaranya tidak boleh mengalami kesulitan lantaran
dirinya. Bila perlu ia yang menanggung penderitaan saudaranya yang lain.
Begitulah kekuatan daya tahan kader dakwah yang patriotik.
Khubaib bin ‘Ady pernah ditawari Abu Sufyan ketika akan dieksekusi mati.
“Wahai Hubaib, bagaimana kalau dirimu digantikan oleh Muhammad yang
akan menduduki kursi pesakitan itu.” Khubaib menjawab, “Demi Allah yang
diriku dalam genggaman-Nya. Aku tidak akan rela bila Muhammad
menggantikan diriku begini. Kalau sekiranya aku tahu bahwa Muhammad
sekarang ini tertusuk duri, maka aku tidak bisa tenang dan aku beserta
keluargaku akan menggantikannya menderita karena tertusuk duri.” Inilah
daya tahan yang kuat, berani menanggung beban risiko sendirian dan tidak
ingin melibatkan kesulitan dirinya pada saudaranya.
b. As Sharahah fi Al Haq (Berterus Terang pada Kebenaran)
Keterusterangan dalam kebenaran sebagai indikasi keberanian. Sekalipun
hal itu akan mengundang ekses padanya. Terkadang ada yang tidak bisa
menerimanya. Ada juga yang memusuhinya. Ada pula yang mengancamnya.
Bahkan ada pula yang tidak siap mendengarnya lalu membunuhnya.
Mengatakan yang benar dengan terus terang memang sesuatu yang pahit bila
dilihat dari sisi dampak yang bakal muncul. Namun bila dilihat dari
sisi manfaat dan izzah keimanan ia menjadi sebuah keharusan. Sebagaimana
sabda Nabi saw. ‘Qulil haq walau kaana muuran’ (katakan yang benar
meskipun itu pahit) dan berkata benar di hadapan penguasa yang zhalim
adalah juga salah satu bentuk jihad bil lisan. Jelas saja dibutuhkan
keberanian menanggung segala risiko bila kita senantiasa berterus terang
dalam kebenaran.
Tidak sedikit orang tergelincir dalam
bersikap lalu ia berdusta atau diam karena khawatir akan
risiko-risikonya. Sikap ini dipilih untuk mencari jalan selamat. Atau
memang ia seorang pengecut dan penakut. Padahal sangat mungkin penguasa
itu mendapatkan hidayah bila seseorang menyampaikan kebenaran tanpa rasa
takut kepadanya. Ada seorang penguasa zhalim menginsafi dirinya. Sang
penguasa menangis atas nasihat yang diucapkan seorang ulama yang berani
memaparkan kebenaran padanya.
Sikap berani menyampaikan
kebenaran yang mengandung risiko berat menjadi harga diri seorang kader
dalam memperjuangkan dakwah. Para musuh tidak akan menganggap miring
pada orang-orang yang mempunyai sikap ini. Malah mungkin sangat
dipandang. Paling tidak sang penguasa akan gentar menghadapinya.
c. Kitmanu As Sirri (Kemampuan Menjaga Rahasia)
Kemampuan menyimpan rahasia merupakan bentuk keberanian yang
bertanggung jawab. Orang yang berani adalah orang yang bekerja dengan
baik, cermat dan penuh perhitungan terutama dalam persiapan jihad
menghadapi musuh-musuh Islam termasuk di dalamnya mampu menyimpan
rahasia dengan serapat-rapatnya. Sebab kerahasiaan adalah tanggungan
yang harus disimpan dengan baik meski berisiko tinggi. Ia bukanlah
sesuatu yang diumbar-umbar kepada orang yang tidak berhak. Apalagi
terhadap kerahasiaan dakwah. Karena terbongkarnya sebuah kerahasiaan
akan berakibat fatal. Sangat banyak operasional dakwah berantakan karena
tersiarnya rahasia dakwah.
Menyimpan rahasia bukanlah hal yang
gampang. Ia merupakan pekerjaan berat yang tidak sembarang orang mampu
melakukannya. Hanya orang-orang yang berani dan terampil menyimpan
rahasia sajalah yang dapat melakukannya. Karenanya sahabat Rasulullah
saw. yang memiliki kemampuan ini tidaklah banyak. Mereka adalah sahabat
pilihan Nabi saw. untuk bisa menjaganya. Ada pepatah yang menyatakan
bahwa selamatnya manusia tergantung dalam menjaga lidahnya. Tentu juga
termasuk di dalamnya adalah menjaga kerahasiaan. Ini sangat ditentukan
oleh keberanian menanggung beban akibat dari rahasia yang dipikulnya.
Huzaifah ibnul Yaman r.a. seorang sahabat Nabi yang dikenal dengan
sebutan shahibus sirri. Dia dapat menyimpan rahasia dengan baik. Hingga
tidak diketahui yang lain akan tugas dan tanggung jawabnya menjaga
rahasia. Dia berani menghadapi konsekuensinya sekalipun terasa amat
berat. Akan tetapi yang membuat gentar dirinya adalah bila tertangkap
musuh. Sebagaimana yang pernah ia ungkapkan pada Rasulullah saw. “Ya
Rasulullah, saya tidak takut bila harus mati, akantetapi yang aku
takutkan adalah bila aku tertangkap.”
d. Al ‘Itirafu bil Khatha’i (Mengakui Kesalahan)
Salah satu orang yang memiliki sifat pengecut adalah tidak mau mengakui
kesalahan, mencari kambing hitam dan bersikap “lempar batu, sembunyi
tangan”. Sebaliknya orang yang memiliki sifat syaja’ah adalah berani
mengakui kesalahan, mau meminta maaf, bersedia mengoreksi kesalahan, dan
bertanggung jawab.
Memang mengakui kesalahan tidaklah mudah.
Kadang ada rasa malu, perasaan takut dikucilkan, perasaan cemas akan
pandangan sinis orang lain karena kesalahannya. Padahal mengakui
kesalahan diri sendiri sangat menguntungkan. Sebab ia lantas bisa
melihat kesalahan dirinya. Ia pun tidak menyalahkan orang lain. Ia juga
akan cepat memperbaiki dirinya. Dan berani mengakui kesalahannya akan
membuka pintu keinsafan selebar-lebarnya.
Allah swt. memberikan
contoh pelajaran dari sikap Nabi Adam a.s. ketika melakukan kesalahan,
ia tidak limpahkan kesalahan itu pada setan yang menggodanya. Akan
tetapi ia lebih memberatkan dirinya sehingga terbukalah pintu ampunan
untuknya. “Keduanya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri
kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat
kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi”.
(Al ‘Araf: 23)https://www.facebook.com/aang.muttaqin
e. Al Inshafu min Ad Dzati (Bersikap Obyektif Pada Diri Sendiri)
Ada orang yang cenderung bersikap over estimasi terhadap dirinya,
menganggap dirinya baik, hebat, mumpuni dan tidak memiliki kelemahan
serta kekurangan. Sebaliknya ada yang bersikap under estimasi terhadap
dirinya yakni menganggap dirinya bodoh, tidak mampu berbuat apa-apa dan
tidak memiliki kelebihan apapun. Kedua sikap tersebut jelas tidak
proporsional dan tidak obyektif. Orang yang berani akan bersikap
obyektif, dalam mengenali dirinya yang memiliki sisi baik dan buruk.
Obyektif dalam memandang diri sendiri akan membuka kesempatan pada
orang lain untuk ikut berperan serta. Malah ia akan sangat berhajat pada
keberadaan orang lain. Karena ia tahu benar bahwa ia tidak bisa berbuat
apa-apa tanpa partisipasi yang lainnya. Di samping itu ia pun tidak
akan meremehkan kemampuan dirinya. Sehingga ia bisa berbuat lebih banyak
secara optimal dari potensi miliknya.
Umar bin Abdul Aziz saat
diangkat menjadi khalifah, ia berpidato di hadapan khalayak rakyatnya.
“Aku bukanlah orang yang paling baik dari kalian. Aku hanyalah manusia
seperti kalian akan tetapi aku mendapatkan amanah yang amat besar
melebihi kalian. Karena itu bantulah diriku dalam menunaikan amanah
ini.” Begitulah layaknya orang yang berani memandang kemampuan dirinya
secara obyektif.
f. Milku An Nafsi ‘inda Al Ghadhabi (Menahan Nafsu di saat Marah)
Seseorang dikatakan berani bila ia tetap mampu bermujahadah li nafsi,
melawan nafsu dan amarah. Kemudian ia tetap dapat mengendalikan diri dan
menahan tangannya padahal ia punya kemampuan dan peluang untuk
melampiaskan amarahnya. Orang yang bisa lakukan itu dipandang sebagai
orang kuat karena kemampuannya menahan amarah.
Amarah dapat
menggelincirkan manusia pada sikap serampangan. Ia akan kehilangan
kontrol diri. Bisa jadi ia lupa diri akan sikapnya yang keliru. Malah ia
tak akan pernah menemukan solusi jitu akan masalahnya. Oleh karena itu
Islam memerintahkan untuk bisa mengendalikan diri dari amarah.
Sampai-sampai Rasulullah saw. mengajarkan untuk tidak amarah
berulang-ulang. Bila masih muncul perasaan itu maka rubahlah posisi
dirinya. Bila juga masih berkobar-kobar maka pergilah dan ambillah
wudhu. Karena rasa marah dari setan. Setan diciptakan dari api. Dan api
bisa mati disiram dengan air.
Keberanian adalah kelaziman dalam
dakwah dan menjadi sikap yang melekat dalam diri sang kader. Ia adalah
identitas pengemban amanah umat untuk bisa menunaikan tugas berat yang
diusungnya. Ingat-ingatlah senandung para senior dakwah yang
menggumankan, “Di dalan hatiku selalu terdengar suara Nabi yang
memerintahkan, ‘Berjihadlah, berjuanglah dan lelahkanlah dirimu.’ Dan
berseru, ‘Menanglah, kalahkanlah musuh dan berlatihlah jadilah kamu
selamanya orang merdeka yang pantang menyerah. Hai pemberani lakukanlah
karena kita punya hari esok dan harapan’.”
Wallahu a’lam bishshawwab.
benar sekali.....artikel yang bagus sekali!!!
BalasHapus